Friday, May 27, 2011

Menatap Bencana Lapindo Lebih Dalam

Perumahan warga usai tersapu luberan lumpur Lapindo, Porong - Sidoarjo
(sumber: echak.multiply.com)

Kemarin tepat peringatan lima tahun bencana Lumpur Lapindo di Porong-Sidoarjo. Sehari sebelumnya, akses jalan Porong pun sempat lumpuh karena dipadati oleh para korban lumpur lapindo yang kembali berdemo menuntut adanya ganti rugi atas hilangnya nyawa, tanah, rumah, serta harta benda lainnya akibat bencana tersebut.


Tahun 2007...


Mata kuliah Komunikasi & Pembangunan mengharuskan kami, para mahasiswa, untuk mencari lokasi yang cocok untuk dikembangkan. Saya bersama kelompok (Tiara, Fitri, Sapi, Rani, Ponca, Agenk, Stalon) memilih lumpur lapindo untuk tempat PKL kali ini.

Cewek-cewek berangkat ke lokasi naik komuter, yang cowok bawa motor. Beberapa berangkat dari stasiun Gubeng, dan aku berangkat dari stasiun Waru. Janjian ketemu di komuter (untung aja bisa ketemu..hehe ^^).

Kami turun di stasiun Porong terus jalan kaki ke Pasar Baru Porong yang udah diubah jadi tempat pengungsian korban lumpur lapindo.

Di tempat pengungsian itu masing-masing kepala keluarga dapet jatah satu "kamar". "Kamar" ini berukuran sekitar 2x2m. Kebayang nggak???kamar seluas itu diisi sisa harta benda mereka berikut penghuni-penghuninya. Pastinya sangat tidak memadai.

Parahnya kamar-kamar itu tidak berdinding sama sekali. Bagi mereka yang masih punya uang ya disekat pakai kayu triplek. Tapi bagi mereka yang tidak, ya cukup ditutup dengan kain panjang putih yang disediakan pengelola. Dimana angin bisa bebas keluar masuk. Sayangnya, kebanyakan memang hanya menggunakan kain.

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana mereka tidur di malam hari dengan keadaan "kamar" seperti itu. Belum lagi kalau hujan datang.

Kondisi tempat lainnya pun sama saja. Beberapa diantara kami sempat menggunakan kamar mandi yang tersedia. Namun, ternyata harus antri panjang. Mencoba mencari kamar mandi lain ternyata sama saja, antri.

Kalau dihitung, jumlah kamar mandi disana memang tidak begitu banyak. Sedikit sekali malah. Mungkin hanya sepuluh. Dan itu digunakan untuk ribuan pengungsi.

Dengan kondisi seperti itu jangan salahkan mereka jika banyak dari mereka yang justru melakukan "rutinitas wajib"-nya di luar fasilitas, seperti selokan.

Di sepanjang jalan di dalam lokasi tersebut kami juga banyak melihat lembaran-lembaran plastik berisi karak yang sedang dijemur. Karak atau nasi kering tersebut terbuat dari nasi yang mereka dapatkan dari bantuan makanan yang dikirimkan oleh pemerintah ataupun LSM.

Bukan maksud mereka untuk membuat karak. Mereka hanya tidak ingin membuang nasi yang mereka terima, yang ternyata sudah basi. Hanya tidak ingin menyia-nyiakannya.

Di minggu berikutnya kami kembali ke lokasi. Berniat mengajarkan kepada mereka cara untuk mandiri agar bebas dari keadaan itu. Kami mengajarkan cara membuat pernak-pernik dari kain flanel dan manik-manik. Tak hanya ibu-ibu, anak-anak pun ikut belajar dan senang.

Hanya saja yang kami sayangkan, tak ada satupun dari mereka yang merespon niat kami. Mereka memang senang dengan materi yang kami ajarkan, tapi tidak berniat untuk mengembangkannya menjadi lebih.

Kami menyimpulkan bahwa mungkin saja mereka masih trauma & belum pulih betul dari bencana lumpur lapindo yang menimpa mereka.

Di saat kami sedang asyik memberikan materi, tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara ribut dan kerumunan orang-orang. Kami pun menuju ke tempat keributan tersebut. Ternyata ada salah seorang pengungsi yang meninggal.

Saat kami menanyakan apa sebab meninggalnya, tidak ada yang tahu. Keluarganya bahkan berkata mereka tadi masih sempat berbincang dan tidak melihat gejala apapun.

Beberapa pengungsi pun bercerita bahwa pengungsi yang meninggal tersebut adalah orang ketiga yang meninggal tanpa sebab dalam beberapa minggu terakhir di tempat pengungsian.

Berapa banyak lagi yang harus meninggal dalam kondisi seperti ini????


Tahun 2011....


Sejak 25/5/2011 peneliti dari berbagai negara berkumpul di Surabaya membahas masalah lumpur lapindo ini. Bagaimana penyelesaiannya. Pertemuan tersebut diprakarsai oleh LSM internasional, Humanitus Foundation.

Orang yang bukan warga negara Indonesia bisa tergerak untuk menyelesaikan masalah ini. Mereka peduli, seolah-olah mereka itu adalah bagian dari negara ini. Tapi, gimana dengan kita? yang 100% warga negara Indonesia. Gimana dengan pemerintah? Gimana dengan PT. Lapindo???

Sementara itu, Profesor Wataru Tanikawa dari Japanese Research Institut mengatakan, munculnya gunung lumpur itu terjadi karena mekanisme tekanan yang berlebihan pada permukaan tanah akibat pengeboran. (m.kompas.com/ 2011/05/26)

Mau tahukah pemerintah dengan fakta baru ini? Apa pemerintah bisa dan mau mencekal lalu menyuruh PT. Lapindo untuk bertanggung jawab atas pengeboran yang sudah dilakukannya? pengeboran yang justru membuat bencana bagi warga sekitarnya.

Sementara itu hingga kini PT. Lapindo milik Aburizal Bakrie belum juga membayar ganti rugi pada warga yang menjadi korban. Hingga akhirnya pada akhir April lalu pemerintah menalangi pembayaran ganti rugi sebesar Rp1,104 triliun. (Kok mau ya??? kan itu bukan tanggung jawabnya???)

Padahal seperti yang kita tahu keluarga Bakrie termasuk jajaran orang terkaya se-Asia, mungkin masih tetap menjadi orang kaya no.1 di wilayah Asia Tenggara. Harta kekayaannya pun sudah jelas jumlahnya, triliunan rupiah. Lalu, kenapa membayar ganti rugi yang hanya 1-2 triliun saja nggak mampu???

Entah sengaja atau tidak tapi bagi saya itu seperti pelemparan tanggung jawab yang dilakukan secara halus.

Dan sekarang saya yakin kalau PT. Lapindo tidak akan membayar ganti rugi, karena sudah ada yang menggantikannya untuk memegang tanggung jawab itu.


(Sumber berita : m.okezone.com, m.kompas.com
)

No comments: